Seluang.id
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
  • Login
No Result
View All Result
  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
SeluangID
  • KotaHujan
  • Editor’s Pick
  • Populer
  • About Seluang
No Result
View All Result
SeluangID
No Result
View All Result

Tradisi Menjaga Sumber Air di Lonthoir

SeluangID by SeluangID
27 November 2018
in Our Story
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Pasukan berpakaian putih dan merah yang ditugaskan untuk menjaga Parigi Pusaka, saat prosesi adat berlangsung. Foto: Nurdin Tubaka / Mongabay Indonesia.
  • Artikel Nurdin Tubaka

Maluku, merupakan wilayah yang dihimpit berbagai pulau-pulau kecil nan indah. Ia memiliki beragam tradisi dan adat istiadat. Hampir setiap daerah atau perkampungan di tanah yang biasa disebut ‘Seribu Pulau’ ini, memiliki tradisi khas. Salah satu di Pulau Banda, tepatnya di Negeri Lonthoir, Maluku Tengah.

Negeri ini memiliki tradisi bernama ritual cuci Parigi Pusaka. Tradisi ini berlangsung 10 tahun sekali. Sebelum digelar, masyarakat negeri adat Andan Orsia atau Lonthoir, lebih awal lakukan prosesi penjemputan saudara kandung dari negeri adat Andan Orlima. Dalam Hikayat Lonthoir, diceritakan negeri adat Andan Orsia dan Andan Orlima, memiliki satu garis keturunan (nasab).

Dalam proses itu, tampak mereka dijemput seperti seorang raja dan ratu dari kahyangan. Di mana, kaki dan badan para sesepu atau tua-tua adat dari Andan Orlima, tak boleh tersentuh air, meski hanya setetes. Mereka diangkat dengan kursi dan berbagai alat peraga lain.

Ke Negeri Lonthoir ini, kalau memulai perjalanan dari Dermaga Banda Naira, jarak tempuh hanya dalam 10 menit dengan kapal kecil. Kalau ingin lebih cepat, pakai speedboad.

Kalau lewat Ambon, lumayan jauh dan melelahkan. Dari bertolak dari Bandara Pattimura, Ambon, menggunakan pesawat udara, ditempuh sekitar 1,20 jam. Andai pakai Kapal Pelni, bisa 9-12 jam, tergantung kondisi cuaca.

Baca Juga:Menanti Kepastian Lahan

Tarian cakalele oleh warga Lonthoir Pulau Banda. Foto: Rusdi Takartutun

Jejaki Lonthoir

Jam menunjukkan pukul 10.20 waktu setempat. Hawa panas menyambut kedatangan kami di Pulau Banda Naira, Maluku Tengah, setelah melalui perjalanan sekitar 1,20 jam dari Bandara Pattimura, Ambon. Kami pakai pesawat kecil.

Saya terbang bersama rombongan Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Mereka datang dari Jakarta untuk kunjungan kerja, sekaligus menyaksikan tradisi cuci Parigi Pusaka—akhirnya batal–, di Negeri Lonthoir, Pulau Banda.

Dari atas pesawat kapasitas 25 penumpang itu, saya duduk dekat pintu keluar. Duduk di samping kiri saya seorang awak pesawat, setiap menit saya bertanya, “Berapa lama kita menempuh perjalanan menuju Pulau Banda?”

Sekitar satu jam perjalanan, tiba-tiba awak pesawat di samping kiri menepuk pundak saya, seraya berkata, “Bang sekitar 20 menit lagi kita sudah tiba di lapangan terbang Banda Naira.” Mendengar kalimat itu, saya tersenyum dan segera mengeluarkan kamera di dalam tas.

Sebelum pesawat berhenti, tampak sejumlah mahasiswa dan dosen dari Sekolah Tinggi Hatta-Sjahrir sedang berbaris di bandara itu. Mereka menggelar acara penyambutan para senator dan rombongan DPD RI ini.

Keesokan harinya, saya menuju dermaga mini di Pantai Banda Naira. Di tempat penyebrangan, terlihat banyak orang tergesa-gesa dan desak-desakan naik ke kapal-kapal kecil.

Saya bertemu dua teman. Sepanjang perjalanan ke Lonthoir, mata dimanjakan berbagai panorama laut. Keeksotikan Gunung Ganapus juga begitu mengangumkan.

Baca juga:Merawat Hutan Adat, Menjaga Martabat

Tradisi saling siram air yang dibersihkan dari dalam Parigi Pusaka. Foto : Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

Jaga dan Bersihkan Sumber Air Warga

Hidayat Yusuf, Ketua Panitia Cuci Parigi Pusaka, menuturkan, proses membersihkan sumur setiap 10 tahun sekali. Parigi ini, katanya, sumber air minum bagi warga Lonthoir dan sekitar hingga harus dibersihkan guna melindungi masyarakat dari berbagai hal tak diinginkan.

“Tujuan kita untuk membersihkan parigi dan menyucikan warga dan negeri dari kotoran. Jadi setiap 10 tahun sekali kami melaksanakan ritual ini,” kata Hidayat.

Dia bilang, disebut Parigi Pusaka, karena keistimewaan air parigi ini tak pernah kering meski kemarau panjang. Air parigi ini, sehat buat minum.

Said Assagaff, Gubernur Maluku mengapreasiasi prosesi cuci Parigi Pusaka ini. Dia minta, tradisi ini terus dijaga sebagai warisan leluhur. Selain memiliki nilai kesakralan, dan religi, ritual ini juga sarana mengenalkan wisata di Banda Naira dan Maluku.

Ikram, pengunjung dari Jawa Timur bilang, orang Maluku memiliki budaya dan tradisi penting. Dia juga kagum dengan panorama laut Pulau Banda. Titik-titik wisata di Banda menggiurkan dia kembali berlibur ke Maluku.

“Saya suka laut. Rasa penat saya hilang ketika melihat pulau-pulai kecil dengan keindahan laut. Yang paling terkesan gunung merapi yang menjulang tinggi,” katanya.

Sebelum ke Desa Lonthoir, dia mendatangi Benteng Belgika, peninggalan orang-orang Portugis dan Belanda. Dia terkesan sekali dengan keindahan dari atas benteng itu.

“Wow seru. Keindahan masih terjaga. Saya harap keindahan ini terus dilestarikan agar menarik para wisatawan.”

[penulis adalah kontributor Mongabay Indonesia di Ambon]

Artikel “Tradisi Menjaga Sumber Air di Lonthoir” merupakan konten kolaborasi dengan Mongabay Indonesia. Konten serupa bisa dilihat di sini

SeluangID

SeluangID

Related Posts

Catatan dari Lokasi Banjir di Pamanukan

by SeluangID
11 Februari 2021
0

Banjir di Pamanukan. Foto: Bayu Gawtama / Sekolah Relawan Penulis : Bayu Gawtama Ini memang harus dituliskan agar masyarakat...

Chanee Kalaweit dan Kisah Pelestarian Satwa Liar

by SeluangID
22 Januari 2021
0

Chanee Kalaweit mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian Owa. Sumber Foto : greeners.co Penulis : Linda Christanty Andaikata saya kembali ke...

Kado 2021 Jokowi untuk Masyarakat Adat

by SeluangID
9 Januari 2021
0

Acara penyerahan SK Pengelolaan Hutan Adat, Perhutanan Sosial dan TORA di Istana Negara, Kamis, 7 Januari 2021. Foto: BPMI...

Next Post
ilustrasi: DPH / seluang.id

Setelah Zakki dan Kresna, Siapa Lagi?

Upacara Kebo Ketan di Kota Ngawi, Jawa Timur ini memberi pesan persatuan yang sangat dalam. Foto: dokumentasi pribadi

Kebo Ketan, Upaya Menjaga Nusantara

Cengkih berjemur sepanjang jalan. Foto: M Rahmat Ulhaz

Kalaodi Pelindung Tidore

Discussion about this post

Story Populer

  • Pembacaan Proklamasi kemerdekaan RI oleh Sukarno di Pegangsaan. Sumber foto: Wikipedia

    Proklamasi, Kenapa Pindah dari Ikada ke Pegangsaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Coretan-coretan Sukarno pada Teks Proklamasi itu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Telepon Nasution dan Sarwo Edhie Setelah Pranoto Dibebaskan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni dan Virtual, Antara Eksperimen dan Eksplorasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Kami tak Ingin Lingkungan Ini Rusak,” kata Yanto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cara Orang Jawa Menikmati Hidup

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kami Mengukur Curah Hujan untuk Menanam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
# # #
SeluangID

Kami ingin menyajikan berita melalui cerita. Mimpi sederhana kami: mengisahkan kebenaran - walau itu kecil - ke banyak orang. Karena Dunia Butuh Cerita.

  • Amatan & Opini
  • Art
  • Catatan Redaksi
  • Kota Hujan
  • Landscape
  • Obituari
  • Our Story
  • Review

Follow Us

We’d like to hear from you!

Hubungi Kami di : [email protected]

Ikramina Residence Blok E No 1 RT 004/007 Desa Bojong, Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat, 16310

  • About Seluang
  • Beranda
  • Pedoman Media Siber

© 2021 Design by Seluang Institute

  • Landscape
  • Our Story
  • Art
  • Amatan & Opini
No Result
View All Result

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In