
- Artikel Nurdin Tubaka
Maluku, merupakan wilayah yang dihimpit berbagai pulau-pulau kecil nan indah. Ia memiliki beragam tradisi dan adat istiadat. Hampir setiap daerah atau perkampungan di tanah yang biasa disebut ‘Seribu Pulau’ ini, memiliki tradisi khas. Salah satu di Pulau Banda, tepatnya di Negeri Lonthoir, Maluku Tengah.
Negeri ini memiliki tradisi bernama ritual cuci Parigi Pusaka. Tradisi ini berlangsung 10 tahun sekali. Sebelum digelar, masyarakat negeri adat Andan Orsia atau Lonthoir, lebih awal lakukan prosesi penjemputan saudara kandung dari negeri adat Andan Orlima. Dalam Hikayat Lonthoir, diceritakan negeri adat Andan Orsia dan Andan Orlima, memiliki satu garis keturunan (nasab).
Dalam proses itu, tampak mereka dijemput seperti seorang raja dan ratu dari kahyangan. Di mana, kaki dan badan para sesepu atau tua-tua adat dari Andan Orlima, tak boleh tersentuh air, meski hanya setetes. Mereka diangkat dengan kursi dan berbagai alat peraga lain.
Ke Negeri Lonthoir ini, kalau memulai perjalanan dari Dermaga Banda Naira, jarak tempuh hanya dalam 10 menit dengan kapal kecil. Kalau ingin lebih cepat, pakai speedboad.
Kalau lewat Ambon, lumayan jauh dan melelahkan. Dari bertolak dari Bandara Pattimura, Ambon, menggunakan pesawat udara, ditempuh sekitar 1,20 jam. Andai pakai Kapal Pelni, bisa 9-12 jam, tergantung kondisi cuaca.
Baca Juga:Menanti Kepastian Lahan

Jejaki Lonthoir
Jam menunjukkan pukul 10.20 waktu setempat. Hawa panas menyambut kedatangan kami di Pulau Banda Naira, Maluku Tengah, setelah melalui perjalanan sekitar 1,20 jam dari Bandara Pattimura, Ambon. Kami pakai pesawat kecil.
Saya terbang bersama rombongan Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Mereka datang dari Jakarta untuk kunjungan kerja, sekaligus menyaksikan tradisi cuci Parigi Pusaka—akhirnya batal–, di Negeri Lonthoir, Pulau Banda.
Dari atas pesawat kapasitas 25 penumpang itu, saya duduk dekat pintu keluar. Duduk di samping kiri saya seorang awak pesawat, setiap menit saya bertanya, “Berapa lama kita menempuh perjalanan menuju Pulau Banda?”
Sekitar satu jam perjalanan, tiba-tiba awak pesawat di samping kiri menepuk pundak saya, seraya berkata, “Bang sekitar 20 menit lagi kita sudah tiba di lapangan terbang Banda Naira.” Mendengar kalimat itu, saya tersenyum dan segera mengeluarkan kamera di dalam tas.
Sebelum pesawat berhenti, tampak sejumlah mahasiswa dan dosen dari Sekolah Tinggi Hatta-Sjahrir sedang berbaris di bandara itu. Mereka menggelar acara penyambutan para senator dan rombongan DPD RI ini.
Keesokan harinya, saya menuju dermaga mini di Pantai Banda Naira. Di tempat penyebrangan, terlihat banyak orang tergesa-gesa dan desak-desakan naik ke kapal-kapal kecil.
Saya bertemu dua teman. Sepanjang perjalanan ke Lonthoir, mata dimanjakan berbagai panorama laut. Keeksotikan Gunung Ganapus juga begitu mengangumkan.
Baca juga:Merawat Hutan Adat, Menjaga Martabat

Jaga dan Bersihkan Sumber Air Warga
Hidayat Yusuf, Ketua Panitia Cuci Parigi Pusaka, menuturkan, proses membersihkan sumur setiap 10 tahun sekali. Parigi ini, katanya, sumber air minum bagi warga Lonthoir dan sekitar hingga harus dibersihkan guna melindungi masyarakat dari berbagai hal tak diinginkan.
“Tujuan kita untuk membersihkan parigi dan menyucikan warga dan negeri dari kotoran. Jadi setiap 10 tahun sekali kami melaksanakan ritual ini,” kata Hidayat.
Dia bilang, disebut Parigi Pusaka, karena keistimewaan air parigi ini tak pernah kering meski kemarau panjang. Air parigi ini, sehat buat minum.
Said Assagaff, Gubernur Maluku mengapreasiasi prosesi cuci Parigi Pusaka ini. Dia minta, tradisi ini terus dijaga sebagai warisan leluhur. Selain memiliki nilai kesakralan, dan religi, ritual ini juga sarana mengenalkan wisata di Banda Naira dan Maluku.
Ikram, pengunjung dari Jawa Timur bilang, orang Maluku memiliki budaya dan tradisi penting. Dia juga kagum dengan panorama laut Pulau Banda. Titik-titik wisata di Banda menggiurkan dia kembali berlibur ke Maluku.
“Saya suka laut. Rasa penat saya hilang ketika melihat pulau-pulai kecil dengan keindahan laut. Yang paling terkesan gunung merapi yang menjulang tinggi,” katanya.
Sebelum ke Desa Lonthoir, dia mendatangi Benteng Belgika, peninggalan orang-orang Portugis dan Belanda. Dia terkesan sekali dengan keindahan dari atas benteng itu.
“Wow seru. Keindahan masih terjaga. Saya harap keindahan ini terus dilestarikan agar menarik para wisatawan.”
[penulis adalah kontributor Mongabay Indonesia di Ambon]
Artikel “Tradisi Menjaga Sumber Air di Lonthoir” merupakan konten kolaborasi dengan Mongabay Indonesia. Konten serupa bisa dilihat di sini
Discussion about this post