
Meskipun hampir semua Negara di berbagai belahan dunia telah merdeka, namun persoalan perampasan tanah dan sumber daya alam yang merupakan simbol dari kolonialisme dan kapitalisme masih terjadi dan terus meluas.
Praktek-praktek perampasan tanah tersebut seringkali diikuti oleh tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan tanah mereka. Dilansir dari The Guardian, sedikitnya 197 pemimpin organisasi, aktivis, dan jurnalis pejuang hak atas tanah telah terbunuh dalam kurun waktu 2017. Situasi tersebut berlanjut di tahun 2018, di mana tercatat 66 orang telah terbunuh sejauh ini. Saat ini mereka masih rentan terhadap intimidasi, kriminalisasi bahkan ancaman pembunuhan.
Perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanah mereka harus berhadapan dengan agenda pasar yang menganggap tanah sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan.
Situasi di atas membuat nasib petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan semakin terpuruk. Kontrol mereka atas tanah sebagai sumber pangan dan kehidupan menjadi hilang, mengakibatkan kemiskinan dan kelaparan berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan.
Laporan FAO 2017 memperkirakan angka kelaparan dan kekurangan gizi meningkat dari 777 juta tahun 2015 menjadi 815 juta pada tahun 2016. Atas situasi tersebut, lebih dari 800 organisasi masyarakat sipil, organisasi rakyat, organisasi pembangunan internasional, badan-badan PBB, akademisi hingga lembaga pemerintahan akan bertemu di Bandung, dalam perhelatan Global Land Forum (GLF) ke-8.
Menuntut pemenuhan hak atas tanah bagi rakyat, khususnya petani kecil, tuna kisma, nelayan miskin, perempuan dan masyarakat adat, serta perlindungan bagi pejuang hak atas tanah dan lingkungan.

“Masyarakat Adat dan komunitas lokal melindungi separuh dari lahan dunia, tetapi hanya 10 persen yang diakui. Situasi tersebut meenyebabkan perampasan tanah menjadi tantangan besar. Di banyak negara, mereka berjuang membela hak-hak tanah dengan mempertaruhkan nyawa,” kata Direktur ILC, Mike Taylor.
Terpilihnya Indonesia sebagai negara tuan rumah penyelenggara GLF oleh Dewan Global ILC didasarkan pada beberapa perkembangan signifikan, diantaranya dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah, serta adanya kemauan politik pemerintah mendorong proses-proses pengakuan hak atas tanah melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik.
Meski begitu, kemauan politik pemerintah belumlah dianggap cukup, karna masih menyisahkan banyak persoalan mengenai impelementasinya di lapangan. Bisa dilihat bahwa konflik agraria masih terjadi bahkan mengalami peningkatan setiap tahunnya. KPA mencatat, dari 450 konflik agraria yang terjadi di Indonesia pada tahun 2016, naik secara signifikan menjadi 659 pada tahun 2017.
Ada jutaan jiwa petani, masyarakat adat, perempuan dan nelayan yang menjadi korban konflik agraria. Kami menantikan Perpres Reforma Agraria untuk segera ditandatangani oleh Bapak Presiden, Sekaligus memastikan pendekatan-pendekatan keamanan, yang bersifat mengkriminalkan dan refresif kepada masyarakat di wilayah konflik, di desa-desa, kampungkampung segera dihentikan, Ujar Sekjend KPA, Dewi Kartika dalam Soft Opening GLF di Istana Negara, 21 September 2018.

Situasi-situasi di atas harus segera dijawab oleh komunitas global dan organisasi masyarakat sipil. Melahirkan solusi dan kesepakatan bersama terkait agenda pemenuhan hak-hak tanah masyarakat. GLF tahun ini membawa tema “United for Land Rights, Peace, and Justice, membawa semangat persatuan komunitas global untuk menjawab situasi dan persoalan tanah global.
Melalui berbagai isu pertanahan yang akan dibahas, perampasan tanah, konflik agraria, krisis pangan, perempuan dan masyarakat adat melalaui beberapa tema, Aksi efektif melawan perampasan tanah, mengunjungi kembali reforma agraria otentik, jawaban atas pembangunan global, memastikan kedaulatan pangan, masyarakat adat dan perjuangan perempuan dan kelompok rentan untuk hak atas tanah.
Melalui spirit Bandung yang mewakili kebebasan, kesetaraan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti yang digemakan Konferensi Asia-Afrika 1955 melalui Deklarasi Bandung, GLF tahun ini dapat melahirkan agenda kerja dengan semangat yang sama untuk memastikan pengelolaan tanah berbasis masyarakat (People-Centered Land Governance), sebagai jawaban mengatasi ketimpangan penguasaan tanah, kemiskinan, dan kelaparan yang tengah mengancam jutaan masyarakat di berbagai belahan dunia.
Catatan: Sumber tulisan dari rilis Panitia Global Land Forum 2018
Dony P. Herwanto, documentary maker, peminum kopi yang setia dan pembaca buku. Menulis untuk menjaga kewarasan dan ingatan.
Discussion about this post